For Such A Worm Like I! - Bagi Cacing Seperti Saya


‘Dik! Kalau ada lagu yang begitu dalam menggugah batin saya yang terdalam 40 tahunan yang lalu, tentang makna kematian Kristus (bagi saya), adalah lagu “Memandang Palang Rajaku” dari Mazmur dan Nyanyian Rohani.

Beberapa hari yang lalu, saya menemukan bahwa makna lagu ini sungguh lebih dalam seperti tercermin dari judul aslinya For Such A Worm Like I!- Bagi Cacing Seperti Saya!”. Itu saya temukan ketika beselancar dengan mesin Google di cybesspace mencari-cari mp3 gratisan lagu-lagu kidung (hymn) untuk passion di mesin Google. Dan saya terdampar di website GKI dengan sebuah tulisan pendeta Kuntadi Sumadikarya dengan judul tersebut diatas. Hati saya tersentuh kembali. Dan lega. Bukan saja karena semakin tergugah oleh keindahan lagu tersebut, tetapi juga menemukan “dukungan” atas keprihatikan saya selama ini bahwa lagu-lagu kidung yang sesungguhnya begitu kaya dan dalam – yang lahir dari perjumpaan pengarangnya dengan Tuhan dalam pergumulan hidup yang sering tidak mudah – terkesan kurang dihargai, kurang laku, bahkan dipandang tidak menarik dan tidak cocok untuk gereja jaman sekarang ini.


Dibawah ini adalah saduran dari tulisan beliau, yang kiranya menggugah kita bukan saja tentang makna passion Sengsara Tuhan Yesus bagi kita, tapi juga untuk melihat bahwa persoalannya adalah “the singer, not the song” – bukan soal apa nyanyiannya - kidung klasik atau masa kini/kontemporer – tapi penyanyinya, yaitu kita sendiri, penghayatan kita yang diserahkan pada Roh Kudus, satu-satunya yang dapat membawa kita pada penyembahan yang sungguh, benar dan berkenan kepada Allah.


Lengkapnya, pendeta Sumadikarya menulis: Saya harus mengaku tersentuh secara baru dan mendalam oleh sebuah nyanyian rohani lama. Nyanyian ini dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan judul “Memandang Palang Rajaku” Mazmur dan Nyanyian Rohani serta diubah dan digubah menjadi “Memandang Salib Rajaku” dalam Kidung Jemaat No. 169.

Terhenyak rasanya, ketika saya membaca pembahasan teks asli awal Abad ke-18 dari lagu tersebut. Kalimat yang menyentuh tersebut, saya pakai sebagai judul tulisan ini, For such a worm Like I (bagi cacing seperti saya!). Pada baris itu, spiritualitas si penulis, pendeta Isaac Watt (1674-1748), bergetar kuat dalam hati saya. Seminggu lamanya tak bisa tidak dan terus menerus saya mengomunikasikan hal itu kepada beberapa rekan, yang juga langsung tersentuh seperti saya. Aneh, pendeta Inggris yang sudah lama mati ini – selama hampir 300 tahun – masih terus menggemakan spiritualitasnya secara ekumenis di banyak gereja di seluruh dunia. Ternyata iman mendalam kepada Kristus dalam lirik ciptaannya di tahun 1707, tak pernah ikut mati bersama penulisnya.

Tiba-tiba trenyuh hati saya. Mengingat kenyataan bahwa nyanyian-nyanyian dan lagu-lagu warisan Gereja Reformasi semacam ini, yang sarat dengan spiritualitas mainstream, menjadi begitu tidak berharga di mata banyak anggota jemaat dewasa ini. Bukan saja bagi anak-anak muda kita melainkan juga bagi orang dewasa dan lansia. Penasaran rasanya bahwa persoalan pro dan kontra pemakaian nyanyian “persekutuan” dari luar sudah menjadi masalah berpuluh-puluh tahun tanpa gereja saya mampu memberikan pemecahan yang tepat. Sakit sense of belonging saya rasanya, bahwa lagu “persekutuan” – yang umumnya bersifat pentakostal – justru diam-diam dipergunakan dalam jemaat-jemaat – mungkin – dengan rasa sedikit anti terhadap warisan Gereja Reformasi yang menandai identitas banyak gereja.

Nyanyian gerejawi selayaknya mengomunikasikan warna spiritual yang tidak pernah boleh diabaikan. Nyata bahwa kita harus mengaku kurang mampu memelihara warisan berharga ini. Nyanyian-nyanyian gerejawi kita nampaknya kurang dipahami sehingga kehilangan maknanya yang kaya.

Begitulah nasib Kidung Jemaat dan sebangsanya dewasa ini di banyak gereja dewasa ini.

Tulisan ini mencoba menggali kedalaman spiritual dari sebuah nyanyian dan lagu gerejawi warisan Gereja Reformasi dalam kehidupan gereja “ortodoks”. Sekaligus meyakinkan kita bahwa warisan lama sama sekali tidak patut dibuang ke dalam keranjang sampah atau menjadi obyek pelecehan, melainkan hanya perlu dipahami lagi secara baru.
Teks asli Isaac Watt When I Survey the Wondrous Cross selengkapnya dibandingkan dengan terjemahan/gubahan dalam bahasa Indonesia:

When I survey the wondrous cross, On which the Prince of Glory died,
My richest gain I count but loss, And pour contempt on all my pride.

Alas! and did my Savior bleed?, And did my Sovereign die?
Would he devote that sacred head, For such a worm as I?*

Was it for crimes that I have done, He groaned upon the tree?
Amazing pity! Grace unknown! And love beyond degree!

Thus might I hide my blushing face, While his dear cross appears,
Dissolve my heart in thankfulness, And melt my eyes to tears.

Terjemahan Indonesia “Memandang Salib Rajaku” Terj. IS Kijne dan SGL

Memandang salib Rajaku, Yang mati untuk dunia,
Kurasa hancur congkakku, Dan harta hilang harganya

Tak boleh aku bermegah, Selain di dalam salib-Mu
Kubuang nikmat dunia, Demi darah-Mu yang kudus

Berpadu kasih dan sedih, Mengalir dari luka-Mu
Mahkota duri yang pedih, Menjadi keagungan-Mu

Melihat darah luka-Nya, Membalut tubuh Tuhanku
Ku mati bagi dunia, Dan dunia mati bagiku

Andaikan jagad milikku, Dan kuserahkan pada-Nya
Tak cukup bagi Tuhanku, Diriku yang diminta-Nya.

Baris “For such a worm as I?” ini menimbulkan banyak penolakan dan dalam banyak buku nyanyian gerejawi di Amerika dan Inggris diganti menjadi For sinners such as I atau For such an one as I..
Bukan itu saja, penulisan ulang nyanyian gerejawi demi relevansi sering melakukan “perkosaan” terhadap teks asli dengan bahaya tak terhindarkan, menghilangkan nuansa-nuansa orisinal. Bandingkan bagaimana terjemahan bahasa Indonesia yang membuang sama sekali baris kontroversial itu. Mungkin itu sebabnya saya digetarkan secara baru oleh baris yang lenyap ini.
Pada baris kontroversial ini, kita seolah mendengar ketakjuban Isaac akan pengurbanan Kristus di kayu salib. Segera ketakjuban akan Allah tersebut melenyapkan segala kecongkakan diri dan nilai-nilai harta duniawi. Timbulnya rasa kerendahan ini masih dilanjutkan dengan rintihan kesadaran tentang betapa hina dirinya di hadapan Kristus yang agung.
Isaac Watt amat takjub dalam perjumpaannya dengan Tuhan. Kata "takjub" rasanya tak cukup menggambarkan suasana batin yang dialaminya dalam perjumpaan itu. Ia serasa seperti Adam yang kedapatan telanjang ketika dijumpai oleh Allah
Kalimat kerendahan hati di hadapan Allah, biasanya banyak dikutip dari Alkitab dan lazim mengenakan istilah “debu” bagi kerendahan manusia (Kej 18:27; Ay. 30:19; Maz. 103:14), menjadi lebih dramatis ketika Isaac justru memilih kata cacing (worm) dalam syairnya dan bagi dirinya.

Saya menduga Isaac, pendeta gereja kongregasional Inggris ini, teringat kepada Yesaya ketika ia menuliskan baris itu. “Janganlah takut, hai si cacing Yakub, hai si ulat Israel! Akulah yang menolong engkau, demikianlah firman TUHAN, dan yang menebus engkau ialah Yang Mahakudus, Allah Israel.” (Yes 41:14). Dengan indah Isaac menggubah syairnya dengan mentransposisikan dua kesejajaran: Pertama, “cacing Yakub” menjadi “cacing dirinya.” Kedua, “Allah yang menolong” menjadi “Kristus yang menebus.”


Menarik bahwa musik atau lagunya baru dibuat oleh Edward Miller 83 tahun kemudian di tahun 1790 atau setengah abad setelah Isaac wafat. Selama lebih dari setengah abad itu, spiritualitas tadi seperti phoenix yang terkubur lama namun kemudian bangkit kembali dengan vitalitas luarbiasa. Rasanya tak salah lagi, Miller tergetar juga oleh spiritualitas kristiani Isaac, sehingga terciptalah nyanyian rohani yang indah dan teduh ini. Bagaimana mungkin ia menerjemahkannya ke dalam musik kecuali ia mengalami getaran sesal Isaac itu?

Betapa sesalnya Isaac, sampai ia bertanya-tanya apakah kejahatannya yang membuat Kristus mesti begitu sengsara. Was it for crimes that I have done. Kita paham bahwa dalam psikologi pembandingan antitetis, orang tak akan sanggup secara optimal membayangkan kebesaran Allah, kecuali ia menyadari kekerdilan dirinya. Tak sanggup menyadari kemuliaan Allah, kecuali ia melihat kehinaan dirinya. Tak sanggup memahami penebusan Kristus, kecuali ia merasakan kepahitan dosanya. Setepatnya Isaac menempatkan dengan dramatis pengakuan akan kerendahannya bagaikan cacing saja di depan kayu salib, di mana Yesus sudi dan rela menyerahkan nyawa bagi makhluk yang amat sangat rendah seperti dirinya. For such a worm as I?

Di hadapan pengurbanan Kristus di kayu salib, yang begitu mengharukan, rasanya tiada celah bagi pendosa untuk mengagungkan diri sendiri. Isaac Watt – Bapa hymnody Inggris ini – telah mengungkapkan muatan kalbunya yang terdalam, menggambarkan pengosongan diri dari segala arogansi insaninya – “And pour contempt on all my pride”. Pendeta dengan integritas yang tak kenal kompromi ini, ternyata bersimpuh tak berdaya namun penuh takjub-syukur di hadapan Penebusnya. Semata-mata anugerahlah yang tampil dan memenuhi ruang batinnya, yakni anugerah yang tak terbayangkan dan melampaui segala akal. “Amazing pity! Grace unknown! And love beyond degree!


Dalam pengosongan diri inilah, Isaac seolah mengatakan tak ada hak kita untuk mengambil kemuliaan dan hormat bagi diri sendiri, seperti yang sering dilakukan orang. Terlalu malu untuk melakukan tindakan tersebut. “I hide my blushing face”.


Bukankah banyak kali sudah kita dengar bahwa “Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!” dan “Bagi Dia yang duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba, adalah puji-pujian dan hormat dan kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya!” (Why 5:12-13).

Tak layak mengambil hormat dan kuasa dan kemuliaan bagi diri kita, jika kita mengingat Kristus yang menderita bagi kita. Hanya syukur dan terima kasih belaka yang terjalin dalam rongga-rongga hati kita.

Entah pada Jumat Agung atau Paskah subuh atau kesempatan-kesempatan lain, para penyanyi dan anggota jemaat mungkin bukan hanya akan mengeluarkan suara merdu untuk bernyanyi, tetapi juga linangan airmata bersama Isaac Watt, pendeta yang beriman itu, seiring menyadari betapa besar pengurbanan Kristus bagi kita yang rendah dan hina-dina ini.

Isaac mengungkap tentang darah Kristus yang menetes, mengalir dari kepala Yesus dan menuliskan betapa kepala suci Yesus direlakan bagi cacing seperti dia.
Siapa lagi yang sanggup mempersoalkan selera musik (penulis: mislnya antara “nyanyian kidung” dan “nyanyian persekutuan), ketika berhadapan dengan ketakjuban spiritual macam ini. Hanya mereka yang naiflah yang menafsir gandum sebagai jerami, atau cacing sebagai rajawali.
Setidaknya kita berharap, pemaknaan nyanyian gerejawi seperti ini dapat dikomunikasikan dengan jelas mendalam dan dinyanyikan dengan penghayatan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Burung Undan dan Burung Ponggok